Senin, 03 Juni 2013

Malam

Aku menarik nafas panjang lalu membuangnya perlahan. Menarik lagi.. Lalu membuangnya lagi. Aku memang selalu begitu bila sudah berhadapan dengan situasi seperti ini. Bukan gugup, tapi mencoba mengatur emosiku. Sepintas aku meliriknya, dia juga begitu. Mata kami bertabrakkan. Dia meraih tanganku dan meremasnya perlahan. Dia tersenyum, seolah ingin memberiku kekuatan. Tapi dia tidak tau, hatiku berkecamuk antara cemburu dan rasa bersalah.
                                                           
“Makan malam sudah siap.” Any berucap begitu memasuki ruang keluarga. Dia masih memakai celemek bermotif bunga.

“Ah.. ya..” Aku dan dia gelagapan. Seketika itu juga dia melepaskan tanganku yang tadi digenggamnya.


“Kami datang.” Jawabnya, lalu bangkit dari sofa dan berjalan ke ruang makan. Aku mengikuti.

“Kau pasti akan suka. Aku masak makanan favoritmu, sop iga.” Any tersenyum padaku. Dia menarik kursinya lalu duduk, celemeknya sudah dilepas. “Nikmati makanmu.” Lanjutnya. Dia menyendokkan nasi kedalam piring dan menyerahkan padaku dan lelaki itu.

Aku tersenyum, palsu. Wanita ini sungguh baik. Aku tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi nanti seandainya dia tau hubungan yang terjalin antara aku dan lelaki yang tengah duduk di sampingnya.

“Jangan sungkan Ry, Any masak semua ini khusus buat kamu. Ya kan sayang?” Dia mengalihkan pandangannya dari aku ke Any.

Any tersenyum “ Ya dong. Sahabatku ini harus banyak makan biar tambah ganteng dan cepat dapat pacar.” Any menaik turunkan alisnya. Candaan ini mungkin terasa lucu baginya, tapi bagiku ini terlalu menohok.

Aku tersenyum pahit “ Tenang aja, pasti banyak kok yang rela ngantri buat jadi pacarku.” Aku membalas candaanya menutupi persaanku. Aku memperhatikan cincin yang melingkar di jari manisku.

Seperti yang telah kukatakan, aku dilema antara rasa cemburu dan rasa bersalah. Melihat  mereka berdua yang begitu mesra, hatiku sakit. Lelaki itu, Andre, cowok yang berstatus ‘imam’ bagi  Any adalah kekasih gelapku. Hubungan kami sudah berjalan lebih dari setengah tahun, tepatnya 6 bulan 14 hari, aku mengingatnya dengan baik.

“Ya.. ya.. aku tau. Dari SMA sampai kuliah udah bosan aku ditanya-tanya berapa nomormu” Any mengibas tangannya di depan wajahnya. “Kamu aja yang kebanyakan milih. Hati-hati lho, nanti malah dapat jablay.” Dia tertawa sendiri.

“Enak aja. “Aku menyuap nasi dan sop iga yang sudah memenuhi piringku. Rasanya enak, Any memang pintar memasak.

Any adalah sahabatku dari SMA, kami berteman dekat sejak kelas 1. Dia gadis yang cantik dan baik, bahkan termasuk primadona saat masih SMA dan kuliah. Dia menikah setahun yang lalu. Suaminya bernama Andre Tofan. Lelaki yang menyelamatkan nyawanya di ruang operasi. Ya, Andre adalah seorang dokter.

“Benar Ry, kamu harus makan yang banyak.” Andre tersenyum padaku seolah tak mengerti apa yang kualami.

Kebodohanku! Cinta memang buta, perasaanku mengalahkan logikaku. Aku sadar betul yang kulakukan ini salah. Tapi sekuat logikaku melawan, sekuat itu juga hatiku memaksa. Cintaku pada Andre menghalalkan hubungan kami yang terlarang.

***

“Mikirin apa?” Aku tersentak saat Andre tiba-tiba bicara. Aku tadi duduk sendiri dibalkon apartemennya.

“Kau pasti tau kan.” Aku menatapnya sayu. Ada rasa lelah yang kurasakan, bukan fisik tapi hati.

“Maaf.” Dia mengusap rambutku pelan. “Kau tidak apa-apakan?” Dia duduk dikursi disebelahku.

Kami hanya berdua disini. Any masih di dapur, mungkin mencuci piring. Aku tadi sudah menawarkan diri membantunya tapi dia menolak. Alasannya aku adalah tamunya dan tamu harus dilayani. Dan tentang makan malam tadi, aku lebih banyak diam. Aku pun harus membuang muka setiap kali ada adegan romantis yang mereka lakukan. Aku cemburu.

“Aku capek Ndre..” Aku menatap wajah tampannya “Aku gak sanggup lagi.” Aku mengalihkan pandanganku kedepan, menatap kosong bangunan dihadapanku.

Lagi, dia meraih tanganku dan menggenggamnya. Aku masih ingat bagaimana aku bisa dekat dengan pria ini. Kasus yang nyaris serupa. Dia yang menolongku diruang operasi saat aku mengalami kritis. Aku sedang melakukan perjalanan pulang dari kantor tempatku bekerja saat tiba-tiba saja mobil yang aku kendarai oleng, menabrak bahu jalan dan terbalik. Waktu itu hujan baru berhenti membuat jalanan basah dan sedikit licin. Entah bagaimana kenaasan itu terjadi. Sangat cepat . Dan yang kutau, aku membuka mataku tiga hari berikutnya.

“Aku juga bingung Ry. Maaf atas sifatku yang plinplan.” Aku mendengarkan tanpa memandangnya. “Selama ini aku tidak bisa menentukan sikap. Kau dan Any sangat berharga bagiku.” Aku menatap Andre yang ternyata juga sedang menatapku.

Aku mungkin akan menghajar pria ini jika saja aku tidak mencintainya. Aku benci terjebak dalam keadaan seperti ini. Perasaan yang membuatku merasa bahagia dan tersiksa dalam waktu yang nyaris bersamaan.  Walaupun Andre adalah suaminya Any yang notebene adalah sahabatku, aku tak begitu dekat dengannya sebelumnya. Aku hanya tau dan kenal saja.

“Kurasa aku harus mundur.” Aku memantapkan kalimatku. “Semua ini percuma, hanya akan menyakiti hatiku atau Any nantinya.”

“Ry..” Andre terperangah dengan ucapanku.

“Any itu sahabatku, aku tidak mau dia sampai tau hubungan kita. Itu akan sangat menyakitinya dan aku tidak mau. Cukup aku saja.”

“Ry..” Andre meremas jariku lagi. “Aku tau ini berat, tapi tidakkah kau mencintaiku seperti aku mencintaimu?”

Aku diam. Kalimatnya barusan membuatku ingin tertawa dalam tangisku. Tidak sadarkah dia seberapa besar aku mencintainya. Cinta yang tidak pernah kuberikan kepada orang lain dalam takaran sebesar aku mencintainya. Aku tak pernah menjalin hubungan dengan seorang pria sebelumnya. Aku yakin bahwa aku adalah cowok stright seperti kebanyakan orang. Yakin bahwa aku menyukai wanita yang menjadi kekasihku sebelum aku bertemu dengannya.  Tapi kini semuanya berbalik. Pria inilah yang bisa membuatku nyaman dan degdegan dalam waktu yang bersamaan. Kenyamanan yang tak pernah kutemukan pada orang lain sebelumnnya. Kenyamanan yang akhirnya membentuk kata cinta. Tapi kenyamanan itu pulalah yang menghancurkanku pada akhirnya. Kenapa? Karena cinta ini harus diakhiri.

“Kalau begitu biarkan aku memilihmu. Aku akan menceraikan Any dan menikahimu.”

“Kau gila!” Aku memotong cepat, emosiku jadi naik. “Any itu sahabatku dan aku tidak akan pernah melakukannya. Tidak sadarkah kau bahwa apa yang kita lakukan sekarang ini pun sudah sangat mengyakitinya.”

“Kalian bicara apa?” omonganku terintrupsi oleh suara Any yang sudah berada di depan pintu balkon. Rambutnya yang terurai bergerak oleh angin.

Aku tercekat. Jantungku berdegup kencang seketika. Ketakutanku bahwa Any mendengar pembicaraan kami membuatku terdiam. Andre juga tampak gelagapan, dia langsung berdiri.

“Ngomongin apa sih, serius amat?” Any berjalan menghampiriku, di tangannya ada piring berisi puding. “Cobain pudingku dulu dong, enak lho.”

Dengan canggung aku mengambil puding itu dan memakannya. Aku masih menerka-nerka apakah Any mendengar pembicaraan kami. Tapi melihat senyum yang terus tersungging dari bibir tipisnya, kemungkinan besar dia tak mendengarnya.

“Kau menginapkan?” Tanya Any begitu dia duduk disampingku. Andre bersandar di samping pintu.

Aku menatap Andre sebentar “Aku rasa tidak. Aku masih banyak urusan di kantor besok, jadi aku tidak mau terlambat.”

“Ayolah Ry, malam ini saja. Kita akan bersenang-senang.”Dia mengalihkan pandangannya ke Andre meminta persetujuan “Ya kan sayang.”

“Tentu.” Suara Andre baru terdengar setelah cukup lama diam. “Biar aku yang mengantarmu besok.” Lanjutnya.

“Ayolah Ry... ya... ya... mau ya...” Any memaksa.

Aku menghembuskan nafas lelah, percuma berkata tidak pada Any. Aku mengenal tabiatnya dengan baik, memaksa memang sudah jadi sifat dasarnya. “ Ya” ucapku pada akhirnya.

***

“Ndre...” Aku mengusap mataku. Aku terbangun dari tidurku saat kurasakan sentuhan tangan di kepalaku. Dan aku benar, itu Andre. Aku duduk seketika “Kamu ngapain kesini! Kalau Any tau gimana!” Aku bersuara lirih tapi tegas. Aku tidur di kamar tamu.

“Any sudah tidur.” Dia duduk dihadapanku “ Aku kangen sama kamu.” Tangannya membelai lembut pipiku.

Aku diam. Lalu mengalihkan pandanganku.

Cukup lama kami berada di balkon tadi. Membicarakan masa lalu saat masih SMA dan kuliah, bagaimana Any dan Andre sampai bisa bertemu dan menikah, juga hal-hal lain yang terjadi pada kami. Aku lebih banyak diam dan mendengarkan saja. Hanya sesekali menimpali. Seperti yang ku tebak, Any memang tidak mendengar pembicaraan kami. Dia langsung bicara saat berjalan ke balkon tanpa tau situasinya.

“Hey..”ucap Andre lembut. Dia memegang kedua pipiku dan menghadapkan pada wajahnya.

Mata teduhnya jelas terlihat olehku. Mata yang pertama kulihat saat bangun dari kritisku 8 bulan yang lalu. Mata yang membuatku degdegan dan salah tingkah. Mata yang menenangkan saat aku merasa gelisah. Ya, aku jatuh cinta oleh tatapannya, dulu dan sekarang.

“Aku mencintaimu.” Kalimat itulah yang membiusku.

Aku pasrah membiarkan bibirnya memagut bibirku, menciumku penuh gairah dan mencumbuku. Aku menutup mataku lebih rapat, membiarkan kenikmatan ini menguasaiku. Jantungku berdegup lebih kencang saat tangannya menelusuri tubuhku senti demi senti. Membiarkan tubuhku di poloskan oleh tangan kekarnya. Aku mendesah saat tubuhku menyatu dengan tubuhnya. Berkeringat dan kenikmatan oleh dosa yang kulakukan. Ranjang yang kutiduri sampai berdecit. Aku hanya berharap Any tidak akan mendengarnya.

 Maafkan aku Any, aku mencintai lelakimu..

***

“Pergilah.”

 Andre  mencium keningku sekali lagi, mengusap rambutku pelan dan tersenyum.

“Jampai sampai Any tau kau ada disini.”

Andre mengangguk. Dia berjalan meninggalkan kamar ini. Kamar yang kami pakai untuk bercinta lebih dari setengah jam. Aku menghembus nafas lelah.

Aku memperhatikan tempat tidurku, berantakan. Aku sudah ditiduri oleh suami orang, suami sahabatku. Aku berjalan kekamar mandi yang ada di dalam kamar ini. Membasuh tubuhku yang penuh dengan dosa. Aku membiarkan tubuh polosku basah dibawah guyuran shower ini, berharap air yang mengalir bisa menghapus dosa yang sudah kulakukan. Dan detik itu juga aku menangis. Tangisan yang tersamarkan oleh air yang terus menghujamku. Tubuhku luruh, aku lunglai.

Piranku berkecamuk. Aku mengingat kembali kedekatanku dengan Andre. Awal dimana dia menyatakan cintanya padaku setelah satu setengah bulan keakraban kami. Dia mengajakku dinner malam itu. Memberiku sebuah cincin yang masih kupakai sampai sekarang. Any terkadang bertanya tentang cicin itu, tapi aku menjawab seadanya dan bilang aku membelinya karena aku suka.

‘Aku mencintaimu.’ Kalimat itulah yang Andre ucapkan saat dia menyatakan cintanya padaku. Aku menerima cintanya saat itu juga, meski aku sadar dia adalah milik Any. Perhatian yang kudapatkan dan kenyamanan yang kurasakan dari Andre membuat hatiku luluh. Logikaku yang menyatakan kalau aku salah tidak bisa menghalangi cintaku padanya. Dak sejak hari itu, aku resmi menjadi kekasih gelapnya.

Andai saja, aku mengenal Andre lebih dulu.
Andai saja, dia belum menikah apalagi dengan Any– sahabatku.
Andai saja, aku tidak jatuh cinta padanya.
Andai saja, tak pernah ada kata ’kekasih’ diantara kami.
Semua ini pasti akan jauh lebih mudah.

Tapi kata ‘andai saja’ tataplah kata ‘andai saja’. Kemungkinan yang  tidak akan pernah mungkin terjadi.

Aku menghabiskan waktu mandi jauh lebih lama dari biasanya. Dadaku yang sesak semakin jelas kurasakan. Perasaan bersalah begitu menggelayutiku. Airmataku tak bisa berhenti, membasahi wajahku yang lebih dulu dibasahi air. Aku terisak dalam diam.

Ini  salah... ini salah...

Kata-kata itulah yang terus meluncur dari bibirku.

***

‘Perhatian-perhatian, pesawat dengan nomor penerbangan XXX tujuan Surabaya-Denpasar akan segera diberangkatkan –.’

Aku memasuki pesawat begitu pengumunan itu selesai. Setelah melakukan boarding pass aku duduk di kursi yang sesuai dengan nomorku.

“Nyaris..” Seorang pria langsung duduk disebelahku. Nafasnya sedikit tersengal, seperti orang yang habis berlari. Dia tersenyum padaku.

Aku balas tersenyum untuk keramahan. Aku menarik nafas  panjang. Inilah keputusan yang kuambil pada akhirnya. Melepaskan Andre memang harus kulakukan sejak awal. Aku pergi dari apartemen Andre sebelum dia dan Any bangun. Aku tidak akan mungkin bisa mengatakan selamat tinggal secara langsung padanya, karena aku yakin pikiranku pasti akan goyah. Dan aku tidak mau itu terjadi.

Aku pergi sebelum pagi datang. Setelah merapikan tempat tidur dengan segera aku meninggalkan apartemen itu. Kehadiranku hanya akan membuat luka. Dan keputusan terbaik adalah pergi dari kehidupan mereka.

Aku tersenyum pahit saat logikaku menang melawan cintaku. Aku meletakkan cincin pemberian Andre bersama secarik kertas tulisanku diatas meja. Aku tau Any mungkin akan bertanya-tanya tentang kepergianku. Tapi toh biarlah, ini lebih baik daripada dia tau segalanya. Cukup aku yang menderita.

Jaga Any untukku.

Hanya kalimat itulah yang kutuliskan di secarik kertas itu.

Dengan itu aku memantapkan langkahku. Berusaha melupakan cintaku pada Andre meski aku tau betul pasti akan sangat sulit. Akan kubiarkan takdir menggiring langkahku. Membiarkan waktu menjawab siapa yang akan menjadi jodohku kelak.


“Aku nyaris ketinggalan pesawat karena aku telat bangun” Pria itu bicara lagi.

Aku tersenyum masam, tidak peduli dengan ucapannya.

“Namaku Tofan Pradijaya. Panggil aja Tofan.” Dia mengulurkan tangannya padaku sambil tersenyum.

Aku mengerutkan dahiku tapi meraih uluran tangannya. Aku baru tau ada orang sok akrab seperti Tofan ini “Ary Hermawan, panggil aja Ary.” Aku balas tersenyum.

Aku akan membawa luka ini bersamaku.  Andre, aku mencintaimu...

END

2 komentar: